Kumisnya yang tebal, terus disapu dengan tangannya,kakinya berhenti tepat di bangku nomer 2. Aku. Tanganku menggoyangkan tulisan-tulisan diatas whiteboard. Pak Handoko mengkoreksi, dia menggangguk. Penjelasan cukup singkat dari beliau. Dia menutup bukunya dan meninggalkan kelas kami. Salamnya yang fasih itu bertumpang tindih dengan suara bel nyaring yang menggema di ruangan kelas. 2 jam Matematika bersama Pak Handoko cukup membuat perutku protes dan mengeluarkan nada khas keroncongnya. “nayla”panggilan itu memaksaku untuk berhenti, aku membalikkan badanku.Sepertinya, aku perlu menata hati yang berdetak tak beraturan ini, terlebih saat dia telah berada tepat di depanku. Seperti patung hanya diam membiarkan mataku menatap sorot matanya yang indah. Tapi, tatapan yang tak pernah bersahabat itu sempat mengusikku. Cukup Gina. Jangan biarkan keindahan ini buyar. please God! Disaat itulah keindahan itu hadir kembali. Angga mengenggam tanganku lembut, begitu lembutnya hingga membuatku hanyut dalam sebuah rasa. Tahukah kau? Kalimat yang kau uraikan nyaris membuatku tersedak. Semua ini membuatku canggung. Dan.. ku putuskan untuk segera cabut dari kantin. Aku tak mau kau menangkap wajahku yang mulai memerah ini.
Kedua bola mataku terus mengitari ruangan ini. Hmm,aku bosan! Terlalu sering aku terbaring disini. Bau khas obat begitu menyeruak disetiap sudutnya, membuatku ingin segera lari dari tempat ini.
“kenapa aku disini Bu?”
“kamu tadi pingsan”
“owh, hanya pingsan. Berarti sudah boleh pulang Bu”sekalilagi aku melirik keselang infus. Ah, ini membuatku semakin tak nyaman dengan tempat ini.
Entah sejak kapan Ibu menjadi cengeng seperti ini,kristal bening itu menganak di pelupuk matanya. Dokter dan dua suster masuk kedalam ruanganku. Mereka berbisik pelan. aku mencuri sudut celah diantara mereka, ku pasang telingaku dengan baik sambil terus memperhatikan gerak bibir mereka. Kronologis terakhir, hidungku mengeluarkan darah. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Semua ini membuatku bingung.
“Nay..”Ibu duduk di dekatku dengan melipatkan tangannya, matanya masih begitu sembab menatapku. “maaf ya.. selama ini kami tidak pernah memberitahukan hal ini padamu tapi itu karena kita sayang kamu, mungkin sudah waktunya kamu tahu nak! kami juga tidak akan bisa terus menyembunyikanhal ini.” Wajah tegar yang biasanya terbalut dalam diri Ayah, seketika lepas,berubah.“Kamu mengidap Leukimia.”
“apa? Leukimia?” Ibu memperjelas keadaanku dengan rinci meski diselai isak tangis yang tak kunjung henti. Pantas selama ini Ibu selalu memarahiku hanya karena telat meminum Vitamin ternyata itu obat untuk menghambat penyakit ku. Yang paling mencengangkan adalah beberapa obat dapat mengelupaskan seluruh lapisan usus. Organ reprodusi terpengaruh dan dapat menyebabkan kemandulan. Otak kehilangan memori. Rambut rontok. Penglihatan dan pendengaran menurun. Ginjal rusak. Luka muncul di mulut dan tenggorokan. tubuh berdarah dan mudah memar serta tidak dapat melawan infeksi. Ini buruk!
Aku menatap keadaan luar dibalik kaca. Indah, seindah sunrise pagi ini dengan embun yang masih krasan menempel pada dedaunan. Angin mulai menelusup melalui selah-selah jendela yang sengaja ku biarkan terbuka. Lihatlah, dengar dan nikmati suara ini. Merdu. Kicauan bersahutan yang seirama.
Ku rasakan sentuhan Jemarinya yang meremas bahuku.“Nay..sekolah ya sayang”aku hanya menggeleng, aku melangkah sejengkal, mengambil satu diantara foto yang berjajar rapi diatas meja belajarku. Fotoku bersama wanita cantik, berbalut jilbab dan longdress warna merah muda.
“lihat Bu.. dulu aku cantik, sangat cantik sama seperti Ibu. Tapi sekarang? Aku tak tau Bu.. aku harus mengatakan diriku apa,monster?”
sisi putihku mendinginkan. Tapi sisi yang lain terus mengomporku seakan ini bentuk pemberontakan terhadap apa yang telah dirampas penyakit sial ini.
“tidak Nayla, tidak. Kamu cantik, tetap cantik”
Aku merasakan ketegangan merayap naik. Ibu menggertakkan giginya dan sedikit mengangkat daguku. Dia menatap aku tajam,membuatku takut akan tingkahnya. Dia keluar dari kamarku,aku mengikuti langkahkakinya.Oh, tuhan hentikan drama ini.Tidak mudah menjadi peran sepertinya. Ibu...
“lihat Nay.. lihat.. sekarang apa bedanya kamu dengan Ibu?”aku mengigit bibirku masih tak percaya. Aku sulit mempercayai kegilaanya, nalarku tak mampu untuk menerka apa yang ada dalam pikirannya. Ibu menggunting rambutnya dengan model persis sepertiku.
Wajah gadis di balik cermin itu, masih terlihat pucat.
1 bulan lebih aku tak sekolah, aku kira pak satpamtelah lupa denganku ternyata tidak. Dia menyapaku, tetap hangat di ikuti senyumnya sangat berbanding terbalik dengan mereka yang memandangku aneh. Apa aku seaneh itu?Rambutku? Belum sepenuhnya botak. Kembali aku menatap ibu ragu namun sorot matanya berbicara, aku menelan ludah. Pasrah. Aku mencium lembut tangannya dan tak lama kemudian punggung sedan hitam itu perlahan sayup di pertigaan depan.
Yes, dia. Ku coba untuk menyapa dan tetap berjalan tenang ke arahnya.“angga. Ini, ada sesuatu untukmu”aku mengeluarkan bekalku,sedikit sarapan pagi.
“ti, tidak..”dia berbicara tanpa menatapku, mimik wajahnya tak bisa ku gambarkan. “maaf soal yang dulu, sebenarnya aku takmencintaimu. Aku salah. Dan soal penyakitmu. Aku turut prihatin”tidak ada yang salah dengan kata-katanya, hanya saja hatiku yang terasa amat sesak. Tubuhku gemetar. Jika aku marah tentu tidak akan menyelesaikan masalah semuanya hanya akan menyakitiku. Maka yang ku lakukan adalah tersenyum. Aku berusaha melawan perasaanku sendiri dan ku rasa angga pun cukup tau bagaimana isi hatiku saat ini.
“ada apa ini sayang?”nada manja memuakkan! Angga hanya berlari kembali ke arah lapangan.
Entah siapa yang harus ku salahkan, Aku? karena memang salah menyimpulkan, Angga, Gina, atau justru penyakit in
Pemandangan yang indah, Angsa putih yang mengepakkan sayapnya seakan menarikku dalam pesonanya. Mengambil indah keanggunannya dalam sebuah gambar.
Memang hanya secercah hobby tapi ini seru, Lamasekali, sangat lama dan seingatku terakhir kali itu pas kita lagi liburan dikota tua, Semarang. Aku masih terus menggeser objek-objek ini sampai pada saatnya aku terdiam dan terus memandangi objek ini. Potret dimana kelasku menjadi juara 1 Sanitasi Kelas dan dia seorang pria sekaligus sang Ketua Kelas saat itu, dengan bangganya dia mengangkat piala itu.Angga. Aku tersenyum kecut.
“hai! Boleh duduk disini”, hanya warna hitam dibulatan matanya yang paling menonjol diantara fitur wajahnya, “Bintang, namamu siapa?”
“Nayla”
“kau....”
“ya, aku tau yang ada di fikiranmu sekarang. Hmm, aku memang wanita penyakitan yang.. Ups! Aku lupa. Apa aku ini masih bisa disebut wanita bahkan Angga pun tak berani menatap wajahku.”seakan menjadi paranormal dadakan, aku terus menerawang fikirannya dengan memberikan tekanan pada beberapa kata, “aku rindu duniaku yang dulu, andai waktu bisa berputar dan mengembalikan duniaku yang indah bukan seperti ini. Kenapa harus aku yang ditempeli oleh penyakit ini. Semuanya menjadi begitu sulit sejak penyakit ini ada. Dan juga tingkah laku Ibuku yang masih belum bisa ku percaya,”tiba-tiba nada bicaraku berubah dan airmata mulai menapakkan jejaknya di pipiku.
“Tak seharusnya kita menyalahkan Tuhan atas coretan yang insya Allah akan indah pada waktunya, ujian bukan berarti Tuhan membenci kita. Itu salah! Tapi karena Tuhan menyayangi kita. Aku mengerti apa yang kamu rasakan. Sebenarnya, sama sepertimu. Dulu, aku juga sempat membenci duniaku, menyalahkan garis hidup yang diberikannya tapi saat aku sadar hidupku ini bukan untuk duniaku tapi untuk Tuhan. Masa-masa sulit akan membuat kita lebih mengembang sama seperti adonan roti yang terus dibanting”
Dia membisikkan kalimat panjang itu ke dalam ruang dengarku. Cara bicaranya lurus tanpa ekspresi. Hanya segoret senyum tipis yang menyayat bibirnya, sesekali. Dalam. Penuh arti. Aku menatapnya. Saat kupluk itu tak lagi menyatu dengan kepalanya. seperti ada magnet yang membuat alisku saling mendekat, Ternyata kita sama. Aku tertawa kecil. Hm, mungkin aku perlu memperkecil lagi volume tertawaku, dia mendengarnya.
“maaf. Sungguh aku tak bermaksud menjadikanmu lelucon”
“lebih baik seperti itu, kau terlihat jelek ketika menangis tadi”
Ku rasa kami lebih akrab sekarang.
Sabit menggeliat manja pada permadani hitam, hamparan mutiara yang tak lagi bundar, terganti dengan limasudut tajam semakin memperindah rupanya dan sudut itulah yang memutus keputusanku. Menumbuhkan semangat untuk ku. Bintang, hufft... aku menarik nafas panjang. Kata-kata itu masih terekam di memoriku. Aku berjalan pelan menuruni anak tangga persis seperti mobil yang hampir kehabisan bahan bakar. Ku rangkul mereka, memberikan kecupan hangat secara bergantian dan membisikkan kata“sayang”.
Astaga! Apa Ayah marah dengan tingkahku ini. Ayah berdiri, melepaskan pelukanku.
Salah. Dan pikiranku salah. Ayah menggendongku. Ibu hanya tersenyum dengan lesung pipi yang membingkai senyumnya. Bintang, aku ingin bertemu dengannya lagi. Terimakasih Tuhan, cermin pengalamannya kan aku jadikan cahaya seperti namanya, Bintang.
Tepat hari pertama, kedua dan satu minggu kami diaselalu menyuguhkan pengalaman menakjubkan. Detik itu juga, gelombang besar melandaku. Makna hidup. Jilbab ini.. Bukan untuk menutupi kepalaku yang tak lagi mempunyai mahkota tapi lebih pada kewajibanku sebagai seorang muslim. Ibu menyambut perubahanku dengan hangat. Aku senang, setidaknya kami telah menjadi perempuan muslim yang kaffah. Insya allah.
Kata prihatin yang berkombinasi rasa kagum mendominasi fikiranku. Kali ini Bintang mengajakku ke sebuah markas. Gubuk kecil bertembok terpal segitiga. Kumuh, kotor, menjijikkan. Peralatan yang ada hanyalah panci dan wajan yang entahlah mereka mengoleksi sejak kapan, sangat jauh dari standar sterilisasi. Di pojokan, tampak baju-baju mereka yang disimpan rapi dalam keranjang kecil. Jumlah mereka dengan baju-baju itu. hm, mungkin tak sebanding.Aku bisa membayangkan, mereka pasti memakainya bergantian.Tapi inilah mereka,tetap bisa menikmati hidup dengan caranya. Origami-origami yang menggantung itu mulai terbang. Origami itu, bukan hanya sekadar kertas kosong yang dilipat dalam berbagai bentuk. Didalamnya tertulis sebuah cita-cita besar untuk sebuahmasa depan.
Anak-anak ini sangat baik kepadaku, aku sendiri takmengerti. Apa mereka memang selalu bersikap seperti ini, atau karena aku temannya bintang. Muka-muka polos mereka memberi segi estetik tersendiri dalam setiap potret gambar yang ku ambil. Tak ada rasa canggung saat mereka bertanya sesuatu yang tidak mengerti kepadaku dan satu pertanyaan yang hanya ku jawab dengan senyum. “apakah kakak cantik ini pacarnya kak bintang?”. Mungkinkah mereka berbohong? Aku? Aku cantik? ah, rasanya jilbabku ini tak cukup untuk mengepal kepalaku yang semakin membesar.
Aku menirukan gaya mereka. Berlari kecil dengan membentangkan kedua tangan. Memiringkan tubuh ke kiri dan kanan bergantian. Rupanya, ini adalah cara belajar mereka. Alam dan kami adalah satu. Aku tak lagi merasakan seorang bernama nayla, aku adalah nayla yang telah ber-Revolusi.
“merkurius, venus, bumi, mars, yupiter, saturnus,uranus, neptunus”
Suara-suara mereka semakin lantang meneriakkan 8planet ini secara urut yang disambung oplos dari bintang. Yah, tuhan mengajakku bercanda di tengah-tengah mereka. Darah ini keluar lagi. Oh, tuhan!!
“nayla....”
“Jakugak apa-apa kok..”aku mengusapnya agar tak semakin memberi kesan warna merahpada jilbab putihku.
Aku menunduk, kurasakan kecanggungan yang ada diantara kami. Jangan tatap aku seperti itu. Tatapan teduh itu. Dan, aku tak mungkin jatuh cinta. Secepat ini? Segera ku singkirkan pikiran aneh itu, mustahil sekali rasanya.
“kenapa harus ada matahari tenggelam di hari yang indah ini”
“rotasi bumi. Ya.. itulah yang menyebabkan terjadinya siang dan malam”
“tapi tahukah kamu nayla. Ketika matahari kembali keperaduannya akan ada waktu yang memisahkan kita, aku, kamu, mereka. Sedang waktuku disini, hm mungkin tak akan lama lagi”
“heii.. ayolah, kau bicara apa. Nikmati detik-detik kita ini. Bukankah kau pernah bilang?ombak lebih kuat saat menerjang sang perahu tapi perahu tetap bisa mengapung, begitu juga aku atau kamu nayla. Haruskah kita membiarkan penyakit ini terus tumbuh tanpa perlawanan? tentunya tidak kan? Untuk tetap bisa menikmati hidup kita harus berjuang melawan penyakit ini. SEMANGAT, SEMANGAT!!!”aku mengulang kata-kata yang terlanjur melekat di memoriku.
“aku hanya menebaknya”
Aku mulai menangkap arah pembicaraan ini. Kita mulai mendiskusikan kematian sebab ia terasa semakin dekat saja maka yang kita lakukan adalah sama-sama menguatkan. Dia juga memberikan jam tangan kepadaku dengan pesan agar aku tidak telat minum obat dan juga Shalat tentunya. Bentuk curahan hati seorang hambanya pada sang kuasa.
Kursi roda. Ya, dia kekasihku saat ini dan juga orangtuaku. Seperti tangan kiri dan kanan yang memainkan tugas bergantian.
“bu.. boleh aku minta sesuatu kepadamu?”
“boleh nayla, apa?”
“ibu gak keberatan mengantarkanku ke taman?”
“why not, sayang..”
Selalu kata ini yang selalu ku ucapkan setiap sorehari. Aku berharap disana ada seorang Bintang. Pikiranku, ku biarkan mereka berlari bebas lantas kutemukan sebuah titik ujung tak bernama. Rindu.
Nihil!
Aku menghela nafas. Seperti biasa, aku sangat suka mengulur waktu disini. Air mataku kembali mengalir. Aku seakan menikmati setiap momentyang ada disini.
“kak Nayla!” dari jauh terdengar seorang anak perempuan berlari memanggil namaku.
“kamu” aku mengelus rambut panjangnya, hitam, lurus dansengaja digerai. Nia namanya, gadis cilik yang hobi menggambar dan menuliskan cita-citanya sebagai desainer. “apa kak Bintang masih sering mengajar kalian?”
Senyumnya hilang, mulutnya terkunci dan sedikitmanyun. Dia menggeleng.
“boleh kakak minta alamat rumahnya? Kamu tau kan?”
Dia tetap diam, sedangkan aku disini butuh jawaban.Mungkin ini sebuah paksaan bukan pertanyaan.
“buat kamu, tapi jawab kakak. Alamatnya dimana?” akumengeluarkan 2 lembar uang 50.000an.
“tidak kak.. tidak..”aku terlalu gampang menilaisesuatu dengan uang, aku menyesal. “biarlah aku yang mengantarkanmu”
“boleh ibu ikut nak!”ibu melipatkan kakinya untukmensejajarkan tubuhnya dengan Nia. Senyumnya terpaksa, dia mengangguk.
Jaraknya tak begitu jauh.
Sepi, aku mulai memasuki gerbangnya. Rumput hijautumbuh subur diatas gundukan tanah. Inilah rumahnya, rumah terakhirnya. Tempat Pemakaman Umum.
Rasa sakit ini kian mendera merambati sekujur tubuh,ku coba menutup mata untuk melerai rasa sakit. Tiba-tiba sejumput angin dingin menerpa wajahku, aku seakan melihat wajah lain yang menyeruak diantara nuansa hening itu. Sekelebat wajah penuh cahaya tersenyum kepadaku. Aku merasa tubuhku semakin dingin dan tiba-tiba saja aku merasa seperti melayang di bawa sesosok rupa yang tak bisa ku raba. Tuhan, memanggilku.
creator by : Iftitah Ar-rahmah
0 komentar:
Posting Komentar